Category: Palm Oil


Apa itu ISCC??

ISCC (International Sustainability & Carbon Certification) merupakan sistem sertifikasi bertaraf internasional pertama untuk membuktikan “sustainability”, “traceability” dan penghematan dari efek gas rumah kaca untuk segala jenis produksi biomass (energi yang terbarukan). CPO bersertifikasi ISCC berpotensi untuk mendapatkan premium sekitar 20 – 30 dolar AS per metrik ton dari harga di pasar dunia.

ISCC menjelaskan peraturan dan prosedur untuk sertifikasi biomassa dan bioenergi dalam bahan bakar dan sektor listrik, yang bertujuan mengurangi gas rumah kaca, pengelolaan lahan yang berkelanjutan dan perlindungan habitat alam.  Sertifikakasi tersebut bersifat independen, yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi dan diakui BLE yang bekerja sama dengan ISCC.  Audit dilaksanakan berdasarkan prosedur terdokumentasi dan daftar periksa ISCC yang telah dikembangkan

Tujuan dari ISCC adalah untuk pembentukan system yang berorientasi internasional, praktis, dan transparan untuk sertifikasi biomassa dan bioenergi.  ISCC difokuskan pada :

  •  Pengurangan gas rumah kaca,
  •  Pengelolaan lahan berkelanjutan,
  •  Perlindungan habitat alam dan
  •  Keberlanjutan sosial

ISCC diuji dalam fase uji coba selama dua tahun, dan pada 18/01/2010 telah dilakukan sistem sertifikasi pertama untuk Ordonansi Keberlanjutan Biofuel (Biofuel Ordonansi Keberlanjutan) oleh Badan Federal untuk Pertanian dan Pangan (BLE). Jadi ISCC telah berjalan sejak awal 2010 dan telah mengeluarkan lebih dari 200 sertifikat (Februari 2011).

ISCC dapat digunakan untuk segala bentuk biomassa.  Di antaranya tanaman klasik untuk produksi energi termasuk gandum, tebu, jagung, kedelai, dan kelapa sawit.

Kriteria Sertifikasi ISCC :

1. Persyaratan mengenai sustainability

Penanaman untuk produksi biomassa harus mematuhi persyaratan sustainability, yakni:

–Perlindungan terhadap area HCV
–Perlindungan terhadap area dengan stok karbon yang tinggi
–Perlindungan terhadap lahan gambut, dan
–Pengelolaan kebun yang berkelajutan
Standar-standar yang harus dipenuhi dituangkan dalam dokumen ISCC 202 Sustainability Requirements for the Production of Biomass
2. Persyaratan mengenai reduksi emisi gas rumah kaca dan metodologi perhitungannya

Untuk pemenuhan persyaratan ini, produksi biomassa cair harus dapat mereduksi emisi gas rumah kaca sebesar 35%. Oleh karena itu dibutuhkan data-data seperti:

–Kebutuhan bahan energi (pemupukan, transportasi operasional, listrik dan pompa, land application)
–Peralatan yang mengakibatkan munculnya emisi (genset, transport operasional, transport buah, dll)
Standar-standar yang harus dipenuhi dituangkan dalam dokumen ISCC 205 GHG Emissions Calculation Methodology and GHG Audit.
3. Persyaratan mengenai traceability (penelusuran)

 Asal mula biomassa berkelanjutan (dalam hal ini adalah TBS) yang digunakan untuk memproduksi biomassa cair harus ditelusuri melalui berbagai tahap produksi dan pasokan sampai ke produksi biomassa tersebut.

Standar-standar yang harus dipenuhi mengenai sistem penelusuran tertuang dalam dokumen ISCC 203 Requirements for Traceability. Sedangkan metodologi perhitungan mass balance tertuang dalam dokumen ISCC 204 Mass Balance Calculation Methodology.

Sekilas Tentang RSPO

Roundtable On  Sustainable Palm Oil atau biasa disebut RSPO merupakan prakarsa (inisiatif) dari pihak-pihak pemangku kepentingan global Industri kelapa Sawit untuk mendorong pertumbuhan dan penggunaan minyak sawit yang lestari (sustainable) melalui dialog yang terbuka pada seluruh rantai pasokan. RSPO Secara resmi didirikan  berdasarkan pasal 60 Swiss Civil Code pada tanggal 8 April 2004. Sustainable Palm Oil atau produksi minyak lestari merupakan Pengelolaan Kebun dan Mill secara berkelanjutan   (Sustainable)  baik dari aspek Ekonomi Finansial maupun dari aspek Sosial dan Lingkungan, dengan memperhatikan aspek transparansi  yang mencakup kebun, Mill (pabrik) dan Smallholder (plasma). Keanggotaan dalam RSPO terdiri dari :

  1. Perkebunan kelapa sawit
  2. Pabrikan minyak sawit atau pedagang
  3. Perusahaan consumer goods
  4. Pedagang eceran (Retailer)
  5. Bank dan investor
  6. Environmental/nature conservation NGO
  7. Social/developmental NGO

Sertifikasi RSPO

Sertifikasi  Sustanable Palm Oil  pada Unit Manajemen Mill beserta kebun pemasok buah dengan Prinsip dan Kriteria  (P&C) Sustainable Palm Oil (SPO). Sertifikasi Supply Chain Requirement atau Chain of Custody atau Penelusuran asal usul Tandan  Buah Segar (TBS) atau Fruit Fresh Bunch (FFB). Dalam proses Sertifikasi Asesmen ada proses Audit oleh Lembaga Sertifikasi  RSPO yang memberikan sertifikat RSPO dengan menggunakan Standar P&C RSPO dimana masa sertifikat adalah 5 tahun dan setiap tahunnya akan dilakukan Surveilance audit (audit berkala).

Prinsip dan Kriteria dalam RSPO

Pada bulan  November 2005, RSPO menetapkan Prinsip dan Kriteria Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan (RSPO P&C) yang terdiri atas 8 prinsip dan 39 kriteria, kemudian bulan November 2005-2007, RSPO melakukan uji coba penerapan RSPO P&C. November 2007, RSPO menetapkan dimulainya proses sertifikasi produksi minyak sawit yang berkelanjutan (Sertifikasi RSPO) dengan RSPO P&C sebagai standard global dan Interpretasi Nasional sebagai standard yang berlaku di negara produsen.

Interpretasi Nasional RSPO

Interpretasi Nasional RSPO untuk Indonesia ini disusun oleh Indonesian National Interpretation Working Group (INA NIWG) yang dipimpin oleh Bp. Daud Dharsono (GAPKI/SMART) dan beranggotakan para pemangku kepentingan industri minyak sawit di Indonesia.  Stakeholder  yang menjadi anggota INA-NIWG adalah

  1. GAPKI (PT SMART, PT Lonsum, PT Astra Agro, PPKS, PT Makin , PT Asianagri PTPN dst),
  2. Instansi Pemerintah (Kementrian Pertanian, Perindustrian, Perdagangan, Badan Pertanahan Nasional, Kementrian Lingkungan Hidup, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kantor Menko Perekonomian)
  3. NGO Sosial –Sawit Watch
  4. NGO Lingkungan – WWF Indonesia, The Nature Conservancy (TNC)
  5. Bank – Bank Mandiri, Bank Permata, SCB, Bank Mega
  6. Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia)

Selain itu terdapat Asosiasi lain seperti AIMMI dan  APOLIN. Interpretasi Nasional ini, disahkan pada Mei 2008, dan terdiri atas; 139 indikator nasional yang terbagi atas 65 indikator major dan 74 indikator minor. Indikator Major wajib untuk dipenuhi saat Certification Audit, dan jika terdapat ketidaksesuaian Indikator Minor maka wajib dipenuhi dalam surveillance audit berikutnya (1 tahun masa sertifikat).

8 Prinsip Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan

  1. Komitmen terhadap transparansi (2 kriteria)
  2. Mematuhi Hukum & Peraturan Berlaku (3 kriteria)
  3. Komitmen pada kelayakan Ekonomi dan Keuangan Jangka Panjang (1 kriteria)
  4. Penggunaan praktik terbaik dan tepat oleh perkebunan dan pabrik (8 kriteria)
  5. Tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan  alam dan keanekaragaman hayati (6 kriteria)
  6. Tanggung jawab kepada pekerja, individu-individu dan komunitas dari kebun dan pabrik (11 kriteria)
  7. Pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab (7 kriteria)
  8. Komitmen perbaikan terus menerus pada wilayah-wilayah utama aktivitas (1 kriteria)

Clean Development Mechanism (CDM) merupakan salah satu sumber pendanaan sebagai alternatif bagi pembangunan kehutanan dan perkebunan. Selama sepuluh tahun terakhir, laju deforestasi diperkirakan mencapai 1,6 juta ha dan luas lahan/hutan rusak yang perlu direhabilitasi meliputi lebih dari 30 juta ha(1). Kurang memadainya kondisi keuangan negara saat ini, memerlukan penggalangan sumber pendanaan alternatif guna mendukung pembangunan kehutanan dan perkebunan, dimana rehabilitasi dan konservasi merupakan program prioritas. Clean Development Mechanism (CDM) adalah salah satu sumber pendanaan luar negeri yang dapat diarahkan untuk mendukung program diatas.

Apa itu CDM ?

CDM adalah mekanisme dibawah Kyoto Protocol/UNFCCC(2), yang dimaksudkan untuk : (a) membantu negara maju/industri memenuhi sebagian kewajibannya menurunkan emisi GHGs; (b) membantu negara berkembang dalam upaya menuju pembangunan berkelanjutan dan kontribusi terhadap pencapaian tujuan Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC). Beberapa tahun setelah Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) ditanda-tangani pada tahun 1992, upaya nyata pengurangan emisi gas rumah kaca (GHGs)(3), sebagai akibat aktifitas manusia belum dapat ditunjukkan. Oleh karena itu pada Conference of the Parties (COP)-3 tahun 1997 di Kyoto dicetuskanlah suatu protokol yang menawarkan flexibility mecanism, yang memungkinkan negara-negara industri memenuhi kewajiban pengurangan emisi GHGs-nya melalui kerjasama dengan negara lain baik berupa investasi dalam emission reduction project maupun carbon trading. Dibawah Kyoto Protocol, negara-negara industri diharuskan menurunkan emisi GHGs minimal 5% dari tingkat emisi tahun 1990, selama tahun 2008-2012. CDM adalah satu-satunya mekanisme dibawah Kyoto Protocol, yang menawarkan win-win solution antara negara maju dengan negara berkembang dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca (GHGs), dimana negara maju menanamkan modalnya di negara berkembang dalam proyek-proyek yang dapat menghasilkan pengurangan emisi GHGs, dengan imbalan CER (Certified Emission Reductions)(4).

Apa manfaat CDM bagi Indonesia

CDM merupakan peluang memperoleh dana luar negeri untuk mendukung program-program prioritas, penciptaan lapangan kerja dengan adanya investasi baru. Di sektor Kehutanan, CDM dapat diarahkan untuk mendukung(5):

  1. Pembangunan hutan tanaman pada lahan hutan yang rusak,
  2. Rehabilitasi areal bekas kebakaran,
  3. Rehabilitasi hutan mangrove dan hutan gambut,
  4. Agroforestry,
  5. Penerapan RIL (Reduced Impact Logging),
  6. Peningkatan permudaan alam,
  7. Perlindungan terhadap forest reserve yang rawan perambahan,
  8. Perlindungan terhadap hutan yang rawan kebakaran dan perambahan.

Adapun manfaat tidak langsung yang dapat dipetik Indonesia dapat berupa Technology transper, capacity building, peningkatan kualitas lingkungan, serta peningkatan daya saing.

Apakah kemungkinan kerugiannya

Dari sisi kepentingan nasional, CDM tidak menguntungkan apabila negara industri menggunakan dana ODA (Official Development Assistane). Sesuai dengan Agenda 21 UNCED (Komisi Ekonomi dan Pembangunan PBB), sumber dana kemitraan global menuju ‘sustainable development‘ adalah diluar ODA/Official Development Assistance (new & additional terhadap ODA funding). Tetapi dalam kenyataannya jumlah pemberian dana ODA semakin menurun sejak awal tahun 1990-an, yang kemungkinan dialihkan untuk membiayai komitmen lainnya, misal ke Global Environment Facility (GEF) untuk membiayai komitmen dibawah CCC (Konvensi Perubahan Iklim), CBD (Konvensi Keanekaragaman Hayati), CCD (Konvensi Penanggulangan Desertifikasi). Pengalihan dan ODA ke GEF untuk membiayai komitmen negara industri dibawah konvensi-konvensi diatas sebenarnya sudah menyalahi komitmen yang telah dibuat negara-negara industri sebelumnya yang dipertegas pada UNCED tahun 1992 tentang alokasi 0,7% dari GNP-nya untuk ‘ODA funding‘. Sedangkan penggunaan ‘ODA funding‘ untuk membiayai CDM oleh negara maju merupakan pengalihan beban yang seharusnya tidak dipikul oleh negara berkembang.

Apakah Indonesia wajib mengikuti CDM

CDM adalah peluang investasi modal asing, jadi tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengikuti. Kewajiban Indonesia dalam hal ini bukan dalam konteks CDM tetapi kewajiban sebagai peratifikasi UNFCCC(6) : berkewajiban memberikan laporan nasional secara periodik(7) tentang hasil inventarisasi gas rumah kaca (sektor energi dan non-energi), serta upaya yang telah dilakukan dalam rangka menekan dampak negatif perubahan iklim. Sedangkan sebagai negara non-annex I (negara berkembang), Indonesia belum diwajibkan untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya, dan berhak untuk mendapatkan bantuan dana (misal melalui GEF dll) untuk capacity building dan technology transfer dalam rangka menekan dampak negatif perubahan iklim.

Apa persyaratan CDM

  1. Atas dasar suka rela (antar Pemerintah, antar swasta, dan antara Pemerintah dengan swasta).
  2. Disetujui oleh Pemerintah masing-masing.
  3. Memenuhi kriteria additionality, real, measurable, long-term benefit, dengan penjelasan seperti berikut : Pengertian additional dapat diterangkan dengan membandingkan terhadap baseline (keadaan tanpa proyek CDM). Additionality dapat ditinjau dari aspek pengurangan emisi GHGs(8), investasi(9), sumber dana(10), teknologi(11), dan regulasi(12). Proyek CDM dapat diberikan CER bila pengurangan emisi : (a) real (emisi GHGs proyek CDM < baseline), (b) measurable (tingkat emisi GHGs proyek CDM dan baseline dapat ditentukan dengan tingkat akurasi tertentu). Long-term benefit (pengurangan emisi GHGs berlangsung terus menerus sepanjang jangka waktu proyek, dan memberikan kontribusi terhadap sustainable development di negara berkembang).

Bagaimana mekanisme pendanaan CDM ?

  1. Bilateral : antar Pemerintah, antar swasta (dengan persetujuan Pemerintah), dan antara Pemerintah dengan swasta.
  2. Multilateral : pool dana dari negara industri (Pemerintah atau swasta) pada ‘Lembaga Independen’(13) dan lembaga ini menyalurkan dana untuk proyek CDM.
  3. Unilateral : host country melaksanakan proyek pengurangan emisi GHGs dengan biaya sendiri, yang dapat dipasarkan melalui pasa bebas(14).

CDM merupakan peluang investasi, dan sektor kehutanan Indonesia memiliki potensi yang besar untuk ikut serta dalam CDM. Namun perlu diingat bahwa hukum Kyoto Protocol masih belum mengikat negara industri untuk melaksanakan komitmennya dibawah protokol tersebut, karena jumlah negara yang meratifikasi belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Masalah ini masih perlu dibahas lebih lanjut dalam pertemuan negara para pihak Konvensi Perubahan Iklim (Parties to the UNFCCC) pada pertemuan di Den Haag bulan Nopember 2000 (COP-6/Six Conference of the Parties). Demikian juga masalah metodologi, aturan, dan prosedur CDM. Dan untuk sektor kehutanan, sampai saat ini masih menjadi perdebatan tentang masuk/tidaknya sink dalam CDM. Dalam menyongsong era carbon trading melalui CDM, koordinasi antar pihak terkait sangat diperlukan, misal antara Dephutbun dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, para pakar, instansi dan departemen terkait lainnya. Hal ini diperlukan baik dalam rangka penyiapan posisi Indonesia pada pertemuan-pertemuan negara para pihak (Conference of the Parties) mendatang; penyiapan institusi CDM di tingkat nasional(15); dan untuk keperluan sharing data dan informasi. Dan seiring dengan berlakunya desentralisasi, untuk keperluan implementasinya diperlukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan stakeholders lain di daerah.

(1)Sumber : Dephutbun (1999).
(2)United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Perubahan Iklim).
(3)Jenis GHGs yang dikontrol oleh Kyoto Protocol : CO2, CH4, N2O.HFCs, PFCs, SF6.
(4)Manfaat bagi negara maju : memenuhi sebagian komitmennya untuk menurunkan GHGs dengan biaya jauh lebih murah bila dilakukan di negara sendiri. Negara berkembang (pada periode komitmen I : 2008-2012) belum diwajibkan menurunkan emisi GHGs.
(5)Melalui carbon sequestration project.
(6)CDM adalah mekanisme yang diatur dalam Kyoto Protocol (protocol to the UNFCCC).
(7)Untuk non-Annex I tidak ditentukan periodisitasnya dan untuk penyusunannya berhak memperoleh bantuan dari Annex I (Indonesia baru melaporkan kali, 1999).
(8)Additional bila emisi GHGs setelah ada proyek CDM lebih kecil dari sebelum ada proyek CDM.
(9)Additional bila investasi di lokasi proyek tidak terjadi tanpa proyek CDM.
(10)Additional bila sumber dana bukan ODA.
(11)Additional bila proyek CDA membawa teknologi baru/peningkatan teknologi yang ada.
(12)Additional bila proyek CDM dilakukan pada daerah/negara dimana penegakan hukum/peraturan tentang lingkungan tidak efektif.
(13)Baru akan diputuskan paling cepat pada COP-6, sedangkan CDM sudah dapat dimulai tahun 2000.
(14)Masih dalam perdebatan dapat/tidaknya negara berkembang menggunakan mekanisme tersebut.
(15)Karena step-step CDM (mulai dari design proyek sampai dengan sertifikasi) memerlukan keterlibatan berbagai institusi

PEMERINTAH melalui Kementerian Pertanian segera menerapkan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) kepada seluruh perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan daya saing usaha sawit di tingkat nasional dan Internasional dengan produk yang lestari.

“Ini semacam SIM bagi para pengusaha sawit, bersifat mandatory supaya mereka memiliki pedoman dalam menjalankan kegiatan sawit lestari,” kata Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi dalam acara publikISPO pertama di kantor kementan, Jumat (4/1).

Peraturan ini akan resmi dilaunching Maret mendatang bertepatan dengan peringatan 100 tahun komersialisasi sawit Indonesia yang rencananya akan dilaksanakan di Medan dengan target selesai 2014.

Sementara sepanjang tahun 2011-2012 akan digunakan untuk tahap sosialisasi dan uji coba terhadap 10-25 perusahaan diantaranya PT Rea Kaltim Plan, PTPN XIII, PTPN III, SMART, Padangn Halaban, PTPN V, Ivomas Tunggal, PTPN VI, Sime Indo Agro, Sumber Indah Perkasa (smart), Gunung Sejahtera, (smart), Agricinal Am Plantation (wilmar), Sari Adhrtya Loka (Asian Agro Lestari), Aek Tarum (sampoerna).

“Akan kita lakukan worskshop pelatihan kepada pemda, swasta dan LSM untuk menjelaaskan apa itu ISPO, untuk belajar apa itu ISPO, ini masih berbentuk surat edaran,” katanya.

Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono menyatakan sejak lama pengusaha menunggu dikeluarkannya ISPO sebagai pedoman berusaha di sektor sawit nasional. “Kami mendorong agar ISPO dapat segera diterapkan. Dan jika sudah diterapkan maka para pelaku berharap agar pemerintah percaya diri dengan peraturan yang dibuatnya sendiri. Dengan demikian jika terdapat serangan dari luar maka ISPO merupakan bukti bahwa pelaku sawit nasional mempunyai pedoman dan menjalankan kegiatan sawit lestari,” katanya.

Ia berharap dalam peraturan ISPO ini nantinya bisa lebih murah dari sertifikasi RSPO yang senilai US$25 per hektar. “Seharusnya serifikasi ISPO lebih murah dari RSPO kalau perlu di danai oleh APBN,” kata dia.

ISPO adalah standar perkebunan sawit Indonesia. Aturan ini dibuat setelah banyaknya kampanye hitam terkait produk kelapa sawit Indonesia. Maka, pemerintah membuat aturan agar perkebunan kelapa sawit sesuai dengan kaidah-kaidah keberlangsungan lingkungan hidup. Pada aturan tersebut, pemerintah juga menyiapkan sanksi jika perusahaan sawit tidak memenuhi ISPO. Ancaman terberat adalah pencabutan izin usaha. (Tria Dianti)

Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Achmad Mangga Baran! menilai, kampanye negatif oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional terhadap pembangunan perkebunan sawit tidak independen dan murni untuk kepentingan lingkungan. Bahkan ada indikasi kepentingan lain. Misalnya, persaingan dagang dengan minyak makan lainnya yang diproduksi negara-negara Eropa seperti bunga matahari dan rapseed.

“Jadi isu yang LSM internasional bawa tidak murni alasan lingkungan. Pasti di belakannya ada kepentingan lain,” kata Mangga Barani. di Jakarta, Jumat (26/3). Isu lingkungan kembali menerpa PTSmartTbk, salah satu produsen minyak sawit di Indonesia. Setelah beberapa waktu lalu. Unilever Eropa per 1 April 2010 menghentikan kontrak . pembelian minyak sawit, kini PT Nestle Indonesia juga melakukan hal yang sama. Hal tersebut menyangkut laporan LSM Green Peace yang menilai bisnis mereka telah merusak lingkungan dan hutan.

Mangga mengungkapkan, untuk menjawab isu negatif dalam pembangunan perkebunan. Pemerintah Indonesia dengan Malaysia sudah bersama-sama bertekad dan berkomitmen menangkal isu tersebut. “Jika LSM asing melakukan negatif campaign, kita bersama Malaysia akan melakukan positif campaign.” Jelasnya. Di dalam negeri, ujarnya, Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan standar pembangunan kebun sawit yang ramah lingkungan (ISPO/Indonesian Sustainable Palm Oil).

Standar ini sudah mengacu RSPO (Rountable on Sustainable Palm Oil). “Dalam pembangunan perkebunan sawit, kita sangat memperhatikan lingkungan. Kita pun sudah mempunyai aturan sendiri.” tegasnya. Mangga mengakui, meski pasar minyak sawit ke Eropa bukanlah pasar utama dan perdagangan PT Smart ke Nestle jumlahnya tidak banyak, sekitar 4.000 ton/tahun, tapi Isu tersebut harus diantisipasi.

Dikuatirkan berdampak dengan yang lain, karena pasar di Eropa menjadi patokan terhadap pasar-pasar lain.
“Kita kuatirkan akan meluas ke produsen dan pasar minyak sawit yang lain. Jadi, lebih baik kita antisipasi sekarang.” ujarnya. Sebagai respon terhadap

persoalan yang menerpa pengembangan perkebunan sawit di Indonesia. Mangga menyatakan, pemerintah akan mengundang 18 produsen minyak sawit dalam negeri. Diantaranya. PT Smart, PT Astra Agro Lestari. PT. London Sumatera. PT Bakrie Plantation. Wilmar Group, PT Musim Mas. PT Mina Mas dan PT Permata Hijau Sawit.

“Hasilnya nanti akan kita sampaikan ke Kementerian yang terkait. Paling tidak hasil pertemuan ini kita bisa menyusun kerangka menghadapi persoalan yang menghadang pembangunan perkebunan sawit.” tutur Mang-ga.(cr-l)